HUKUM DAN ETIKA PROFESI KESEHATAN
ETIKA
Etika yang dalam bahasa
Inggris Ethics, adalah istilah yang muncul dari Aristoteles ( Yunani : ethos )
yang berarti adat atau budi pekerti. Istilah Filsafat menyebutnya pengertian
Etika adalah telaah dan penilaian kelakuan manusia ditinjau dari kesusilaannya.
Kesusilaan yang baik merupakan ukuran kesusilaan yang disusun bagi diri
seseorang, atau merupakan kumpulan keharusan, kumpulan kewajiban yang
dibutuhkan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu. Kesulilaan
biasanya didasarkan pada hal tertentu, misalnya agama, kesejahteraan, atau
kemakmuran Negara.
Etika pada umumnya mengajarkan
bahwa setiap pribadi manusia mempunyai “otonomi moral”. Artinya bahwa ia
mempunyai hak kewajiban untuk menentukan sendiri tindakan-tindakannya, dan
mempertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Keberadaan Etika dalam strata kehidupan
sosial tidak terlepas dari sistem kemasyarakatan, manusia terdiri atas aspek
jasmaniah dan aspek rohaniah. Aspek rohaniah terdiri atas kodrat alamiah,
kodrat budaya serta dunia nilai. Kodrat alamiah manusia terdiri atas Cipta (
pikiran dan rasio ), karsa ( kehendak, kemauan ), rasa ( perasaan, emosi ).
Cipta melalui logika menciptakan ilmu pengetahuan, sedang Karsa melalui Etika
menciptakan religi, akhlak, sopan santun dan hukum.
Etika secara umum dapat dibagi
menjadi Etika umum dan Etika khusus. Etika umum membicarakan mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana
manusia bertindak secara etis, teori-teori Etika dan prinsip-prinsip moral
dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolok ukur
menilai baik atau buruk. Etika khusus
adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang
khusus. Etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu Etika individual dan Etika social. Etika
individual menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap diri sendir. Etika social mengenai kewajiban sikap
dan pola perilaku manusia sebagai anggota masyarakat. Etika sosial menyangkut
hubungan manusia dengan manusia baik secara perseorangan dan langsung atau
bersama-sama dalam bentuk kelembagaan, sikap kritis terhadap dunia dan
ideologi, dan tanggung jawab manusia terhadap lainnya.
Prinsip-prinsip Etika
Prinsip-prinsip Etika
Berkembang dari sumpah
Hipocrates ( 460 M – 377 M) bunyinya : “ Saya bersumpah demi Apollo dewa
penyembuh Aescpalius dan Hygea, dan Panacea dan semua dewa-dewa sebagai saksi
bahwa sesuai dengan kemampuan dan pikiran saya akan mematuhi janji-janji
sebagai berikut ( ada 10 janji ):
1) Saya akan memperlakukan guru yang telah
mengajarkan ilmu ini dengan penuh kasih saying sebagaimana orang tua saya
sendiri, jika perlu saya akan bagikan harta saya untuk dinikmati bersama.
2) Saya akan memperlakukan anak-anaknya sebagai
saudara kandung saya dan saya akan mengajarkan ilmu yang telah saya peroleh
dari ayahnya kalau mereka mau mempelajarinya tanpa imbalan.
3) Saya akan meneruskan ilmu pengetahuan ini
kepada anak-anaknya saya sendiri dan kepada anak-anak guru saya dan kepada
mereka yang telah mengikatkan diri dengan dan sumpah untuk mengabdi kepada ilmu
pengobatan, dan tidak kepada hal-hal yang lainnya.
4) Saya akan mengikuti cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan kemampuan saya akan membawa kebaikan bagi penderita dan tidak akan merugikan siapapun.
5) Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun diminta atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu. Atas dasar yang sama, saya tidak akan memebrikan obat untuk menggugurkan kandungan
4) Saya akan mengikuti cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan kemampuan saya akan membawa kebaikan bagi penderita dan tidak akan merugikan siapapun.
5) Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun diminta atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu. Atas dasar yang sama, saya tidak akan memebrikan obat untuk menggugurkan kandungan
6) Saya ingin menempuh hidup yang saya baktikan
kepada ilmu saya ini dengan tetap suci dan bersih.
7) Saya tidak akan melakukan pembedahan terhadap
seseorang walaupun iia menderita penyakit batu, tetapi akan menyerahkan kepada
mereka yang berpengalaman dalam pekerjaan ini.
8) Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan
saya itu saya tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat buruk atau
mencelakakan dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap wanita
ataupun pria baik mereka maupun hamba sahaya.
9) Apapun yang saya dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebar luaskan tidak akan saya ungkapkan karena saya harus merahasiakannya.
10) Selama saya tetap mematuhi sumpah saya ini, izinkanlah saya menikmati hidup dalam mempraktikkan ilmu saya ini, dihormati olehs emua orang di sepanjang waktu. Tetapi jika sampai saya menghianati sumpah ini balikkanlah nasib saya.
Dari sumpah tadi ada 7 prinsip yaitu : tidak merugikan, membawa kebaikan, menjaga kerahasiaan, otonomi pasien, berkata benar, berlaku adil, dan menghormati privasi.
PROFESI
Profesi pada umumnya mempunyai beberapa ciri, yaitu :
9) Apapun yang saya dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebar luaskan tidak akan saya ungkapkan karena saya harus merahasiakannya.
10) Selama saya tetap mematuhi sumpah saya ini, izinkanlah saya menikmati hidup dalam mempraktikkan ilmu saya ini, dihormati olehs emua orang di sepanjang waktu. Tetapi jika sampai saya menghianati sumpah ini balikkanlah nasib saya.
Dari sumpah tadi ada 7 prinsip yaitu : tidak merugikan, membawa kebaikan, menjaga kerahasiaan, otonomi pasien, berkata benar, berlaku adil, dan menghormati privasi.
PROFESI
Profesi pada umumnya mempunyai beberapa ciri, yaitu :
1) Memberikan pelayanan (service) pada orang
segera langsung (yang umumnya bersifat konfidental).
2) Menempuh pendidikan tertentu dengan melalui
ujian tertentu sebelum melakukan pelayanan.
3) Anggotanya yang relatif homogen.
4) Menerapkan standar pelayanan tertentu.
5) Etik profesi yang ditegakkan oleh suatu
organisasi profesi.
Talcott Parsons mengemukakan ciri-ciri khusus
profesi adalah sebagai berikut :
1) Disinterestedness,
2) Rasionalitas, profesi merupakan suatu
system okupasi yang perwujudannya dilaksanakan dengan menerapkan ilmu tertentu.
3) Spesifitas fungsional.
4) Universalisme, dalam pengertian obyketif,
maksudnya adalah bahwa landasan pertimbangan professional dalam pengambilan
keputusan didasarkan pada “ apa yang menjadi masalahnya “ dan tidak pada
“siapanya“ atau “keuntungan pribadi apa yang diperolehnya”
Kualifikasi suatu pekerjaan sebagai sutau profesi
adalah :
1) Mensyaratkan pendidikan teknis yang formal
lengkap dengan cara pengujian yang terinstitusionalisasikan, baik mengenai
adekuasi pendidikannya mmmaupun mengenai kompetensi orang-orang hasil
didikannya.
2) Penguasaan tradisi kultural dalam
menggunakan keahlian tertentu serta keterampilan dalam penggunaan tradisi.
3) Komplek okupasi/pekerjaan memiliki
sejumlah sarana institusional untuk menjamin bahwa kompetensi yang dimiliki itu
akan digunakan secara bertanggung jawab, wujudnya adalah organisasi profesi
dengan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi pengemban profesi.
Berdasarkan ciri-ciri dan pengertian tersebut,
terdapat kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut :
1) Profesi
harus dipandang dan dihayati sebagai suatu pelayanan, sehingga sifat tanpa
pamrih menjadi cirri khas dalam mengemban profesi. Artinya, pertimbangan yang
menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kepentingan pasien atau klien
serta kepentingan umum, dan bukan kepentingan pengemban profesi sendiri.
2)
Pelayanan professional dalam mendahulukan kepentingan pasien atau klien mengacu
pada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi
sikap dan tindakan.
3)
Pengembanan profesi harus selalu mengacu pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4) Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi harus bersemangatkan solidaritas anatar sesama rekan seprofesi.
4) Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi harus bersemangatkan solidaritas anatar sesama rekan seprofesi.
Dalam menjalankan profesinya,
hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau paling
mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memnuhi
tuntutan etika profesinya atau tidak. Kepatuhan pada etika profesi alkan sangat
bergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Dalam lingkungan
pengemban profesi dimunculkan sperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang
harus dipatuhi, yang disebut Kode Etik Profesi atau disingkat Kode Etik. Setiap
profesi mengenal pendidikan/pelatihan yang khusus, dan harus mengabdi kepada
masyarakat, dan memilki suatu kode moral suatu kode etik tersendiri. Kode etik
adalah pedoman perilaku yang berisikan garis-garis besar. Kode etik harus
memiliki sifat-sifat antara lain
(1) Harus rasional, tetapi
tidak kering dari emosi
(2) harus konsisten, tetapi
tidak kaku, dan
(3) harus bersifat universal.
Kode etik profesi terdiiri
atas aturan kesopanan dan aturan kelakuan dan sikap antara para anggota
profesi. Anggota pprofesi yang melanggar kode etik ditertibkan atau dihukum
atau dikeluarkan dari profesi itu oleh para anggota profesi itu, biasanya oleh
suatu dewan atau majlis yang dipilih atau ditunjuk khusus untuk itu oleh dan
dari anggota profesi tersebut.
Falsafah etika, kode etik dan moral
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral
memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok
manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral
merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta
kewajiban manusia. Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral.
Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat
mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan
normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki
bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
Fungsi etika
Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih
baik, itu ajaran moral, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh
orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. Etika
ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk
berargumentasi secara rasional dan kritis.
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan
norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral
adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana
manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara
kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan
manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan
manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau isteri,
sebagai pustakawan. Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adala sopan
santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun.
Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah
ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.
Etika terbagi atas 2 bidang besar yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika umum masih dibagi lagi menjadi prinsip dan moral dasar
etika umum. Adapun etika khusus merupakan terapan etika, dibagi lagi menjadi
etika individual dan etika sosial. Etika sosial yang hanya berlaku bagi
kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik.
Kode etik Kode etik adalah sistem norma, nilai dan
aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan
baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik
menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik agar profesional
memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik
akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional
terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan
pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing
orang bukan karena paksaan.
Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia
melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah
dia sendiri. Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat
perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai
dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas
kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah
dicantumkan.
Dengan berlakunya undang-undang praktik kedokteran
maka apa yang menjadi norma atau kaidah-kaidah bagi setiap dokter atau dokter
gigi baik sebagai individu maupun sebagai organisasi profesi. Sebagai individu
pengemban ilmu pengetahuan kedokteran dalam penerapannya maupun sebagai
individu dalam pergaulan masyarakat di bidang praktik kedokteran telah diatur
dan telah diberlakukan.
Undang-undang praktik kedokteran mengatur tentang
profesi dan etika kedokteran dan kedokteran gigi pada pasal 1 angka 11, pasal
8, pasal 68 dan sebagainya, mengatur disiplin keilmuan kedokteran dan
kedokteran gigi antara lain Bab VIII, pasal 55 sampai dengan 70, pasal 44, 45,
46, dan 48 dan sebagainya. Dan yang mengatur mengenai hukum kedokteran dan
kedokteran gigi antara lain Bab X, Bab VI, Bab VII dan sebagainya dalam undang
undang praktik kedokteran.
Norma atau kaidah etika menjadi lingkup dokter dan
dokter gigi baik sebagai individu dalam profesi dan sebagai penyelenggaraan
profesi dalam praktik kedokteran. Seorang dokter atau dokter gigi harus taat
pada norma etika baik dia tidak berpraktik maupun juga saat melakukan praktik
kedokteran. Seorang dokter dan dokter gigi tidak memiliki STR, SIP, pemalsuan
ijazah, pengguna obat terlarang dan sebagainya, secara etika sebagai anggota
profesi tetap dianggap melanggar etika dan dapat diproses oleh organisasi
profesinya. Sedangkan untuk norma disiplin kedokteran, hal ini sangat terkait
dengan dilakukan dalam praktik kedokteran. Penerapan dan penegakan norma-norma
disiplin baru dapat dikatakan aktif bila dilakukan dalam menyelenggarakan
praktik kedokteran. Seorang dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki STR
atau SIP, pemalsuan ijazah, pengguna obat-obat terlarang dan sebagainya, bila
diterapkan dan terjadi pada penyelenggaraan praktik kedokteran, maka tidak saja
norma etika, tetapi norma-norma disiplin juga berlaku dan dapat dikenakan,
karena dianggap prilaku dokter itu berpengaruh terhadap praktik kedokteran yang
dilakukannya. Begitu pula pada norma hukum yang mengatur terhadap dokter dan
dokter gigi secara individu untuk pergaulan dalam masyarakat tetapi adapula
norma hukum dalam pergaulan pada penyelenggaraan praktik kedokteran. Jadi pada
norma hukum mengatur dokter dan dokter gigi baik diluar praktik kedokteran
maupun didalam melaksanakan praktik kedokteran.
Sifat kode etik
Kode etik
adalah pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan (yang
membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh
anggota kelompok. Kode etik
yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi. Sifat
dan orientasi kode etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten;
masuk akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan
lengkap; dan positif dalam formulasinya. Orientasi kode etik hendaknya
ditujukan kepada rekan, profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat.
Kode etik diciptakan untuk manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat
ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status.
I. Hukum dan Etika Profesi Kedokteran
A. Kedokteran Umum
Dari perspektif perlindungan konsumen, maraknya tuntutan pasien terhadap
cara dan hasil kerja paramedis atau tenaga kesehatan sesungguhnya merupakan
gejala yang positif. Hal itu menandakan semakin tumbuhnya kesadaran hukum
masyarakat, khususnya kesadaran konsumen terhadap hak-haknya, yaitu antara lain
untuk memperoleh pelayanan yang baik maupun ganti rugi apabila tenaga kesehatan
atau paramedis terbukti melakukan malpraktik (melakukan penyimpangan dari
standar profesi).
Artinya, pada dewasa ini telah muncul fenomena dimana pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak lagi bersikap pasrah alias nrimo seperti pada waktu-waktu
yang lampau. Terlebih lagi setelah pemerintah mengundangkan Undang-undang
tentang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Satu di antara ketentuannya
adalah bahwa: Pasien sebagai konsumen pelayanan jasa kesehatan, berhak atas
keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, informasi yang benar, jelas, dan jujur
serta menuntut ganti rugi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya selama
melakukan pelayanan kesehatan ternyata melakukan kesalahan atau kelalaian yang
merugikan pasien. Untuk mengantisipasi kejadian seperti yang diuraikan di atas,
maka Pasal 23 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah
menetapkan bahwa: “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.”
Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 24 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1996, yang dimaksud
dengan perlindungan hukum adalah bentuk-bentuk
perlindungan yang antara lain berupa: rasa aman dalam
melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang
dapat mengancam keselamatan fisik atau jiwa, baik karena alam maupun perbuatan
manusia.” Perlindungan hukum akan senantiasa diberikan kepada pelaku profesi apa pun sepanjang pelaku profesi tersebut bekerja
dengan mengikuti prosedur baku sebagaimana tuntutan bidang ilmunya, sesuai
dengan etikaserta moral yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat
luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada
informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll.
Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah
diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar
profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan
tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki
sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin
profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para
ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis
dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa
memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional.
Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan
dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai
akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat
mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya
harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus
informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan
kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak
sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Sejarah Etik
Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya
dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul
dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya
bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates
yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code
of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik
Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode
Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan
dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau
benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan
penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung
dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan
profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama
hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan
dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk
kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang
memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta
sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan
prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam
membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan
dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari
pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan
etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal
dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan
cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat
pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah
sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan
mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di
tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah
Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya”
akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran
etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan
hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan /
pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya
berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi)
kedokteran.
Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran
(tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik
dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi
satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik
dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan
dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah
“disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari
pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut
kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan
jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh
MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga
pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran
standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula
diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara
keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau
perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan
sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun
perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati
ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit),
langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait)
dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam
bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti
kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat
kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP
dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan
kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti
seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal
Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay
dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan
juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada
pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal
hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis
persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa
dokumen umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi
terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran
keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan
bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus
memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu
setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum
acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada
preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak
ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin
bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan
pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di
MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan
pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan
derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable
conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional
conduct, professional misconduct dan infamous conduct in
professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap
tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah
terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing
ataupun pencabutan ijin praktik.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah
pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK
dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di
persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali
lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar